Sangat menarik menyimak berbagai ahli di bidang nyeri yang berbicara tentang perkembangan terapi pada pasien gangguan nyeri. Ahli di bidang nyeri yaitu Prof Lukas Meliala mengatakan bahwa hanya 20 persen nyeri yang berasal dari kondisi kerusakan organik, selebihnya adalah faktor non-organik. Ini artinya selain faktor biologi maka nyeri sangat tergantung dengan faktor psikososial. Kesimpulan itu adalah rangkaian seminar Indonesian Pain Society yang berlangsung di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta belum lama ini. Walaupun yang berbicara bukan psikiater, saya merasa senang hampir semua pembicara mengatakan pentingnya faktor biopsikososial dalam pendekatan terapi nyeri. Nyeri adalah Persepsi Dokter pasti mengetahui bahwa nyeri adalah persepsi tidak nyaman yang dirasakan pasien. Artinya nyeri sangat bersifat subjektif. Pasien tidak pernah akan bisa diukur secara jelas tentang kadar nyerinya, sampai sekarang tidak ada alat kedokteran yang bisa menyatakan secara jelas titer kadar nyeri seseorang. Pemeriksaan nyeri masih menggunakan gambaran visualisasi seperti Visual Analog Scale dan untuk pasien anak dengan gambaran muka dengan perubahan suasana perasaan dari senang, biasa sampai menangis. Subjektifitas akan sangat berpengaruh dalam hal ini. Misalnya jika Anda merasakan nyeri di angka 6 belum tentu sama berat sakit Anda dengan orang lain yang menyatakan nilai 6 juga. Maka dari itu terlihat faktor psikologis dan latar belakang sosial seseorang bisa sangat berpengaruh terhadap 'kadar' nyeri seseorang. Orang dengan latar belakang yang berbeda bisa mengeluhkan nyeri yang berbeda beda. Seorang yang biasa hidup nyaman dan dalam lingkungan yang memanjakannya bisa merasakan nyeri luar biasa hanya karena tergores pisau saat memotong buah. Sedangkan seorang petani yang biasa bekerja di alam dan hidupnya keras, mungkin tidak akan terlalu berasa sakit walaupun kakinya tersobek oleh paculnya. Gangguan Nyeri Somatoform Saya jadi ingat saat kemarin berkesempatan kongres Psikosomatik di Seoul Korea Selatan. Saat itu ada Prof Jon Streltzer, psikiater dan presiden International College of Psychosomatic Medicine yang menceritakan pengalamannya dan penelitiannya tentang nyeri dan terapi psikologis yang dihubungkan dengan hal itu. Penelitiannya semakin menguatkan bahwa persepsi sangat penting dalam derajat nyeri. Dalam ilmu kedokteran jiwa khususnya bidang psikosomatik medis, dikenal suatu diagnosis Gangguan Nyeri yang merupakan bagian dari Gangguan Somatoform. Pasien biasanya mengeluh nyeri tanpa disertai adanya suatu kondisi medis yang mendasari dan tidaka danya kerusakan organ maupun serabut saraf yang berkaitan dengan nyerinya. Kondisi ini bisa sangat membuat pasien tidak nyaman karena pengobatan dengan obat-obat anti nyeri sering tidak bisa membantu banyak malahan membuat efek samping pada pasien. Peran Psikoterapi Pada banyak kepustakaan dan literatur, penanganan psikologis seringkali menjadi modalitas yang penting ketika modalitas terapi obat tidak banyak membantu. Pasien yang telah diberikan berbagai macam obat nyeri tetapi tidak ada perubahan juga merupakan kandidat untuk dilakukan terapi ini. Psikoterapi dengan pendekatan Cognitive behavior therapy (CBT) pada banyak kepustakaan dan pengalaman klinis sangat membantu pasien-pasien dengan gangguan nyeri non-organik. Perubahan kognitif tentang rasa nyeri yang dialami pasien akan membawa perubahan yang bermakna pada persepsi nyeri pasien yang sering kali memang tidak sesuai dengan kondisi organiknya. Psikoterapi dengan teknik ini sangat membantu apalagi pada pasien dengan gangguan nyeri yang terkait dengan somatoform. Intinya sebagai dokter di zaman modern sekarang ini, pendekatan biopsikososial yang dikonsepkan oleh George Engel (1977) adalah konsep yang perlu ditekankan pada penanganan nyeri. Bukan hanya dengan obat semata tetapi juga dengan pendekatan psikoterapi yang bermanfaat bagi kesembuhan pasien. Sumber : detikhealth.com